PkM Internasional Dosen UMI di ITBM Malaysia, Nilai dan Karakter Luhur Bugis Jadi Inspirasi Kepemimpinan Modern

Author Website UMI

/

Kuala Lumpur, Malaysia, umi.ac.id Kearifan lokal masyarakat Bugis kembali mendapat sorotan dalam kegiatan internasional. Ini terlihat saat dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM), Wisma ITBM, Wangsa Maju, Kuala Lumpur, Jumat (24/10/2025).

Kegiatan ini merupakan bagian dari Pengabdiankepada Masyarakat (PKM) yang bertujuan untuk membangun pemahaman tentang tradisi Bugis di Negeri Jiran. PKM tersebut mengangkat topik bertajuk ‘Pemaknaan Nilai dan Karakter Luhur Manusia Bugis’ berdasarkan pemaknaan dan perspektif mahakarya Raja Ali Haji melalui Kitab Tuhfat al-Nafis (transliterasi Andi Ima Kesuma dan Taufik Ahmad) terbitan Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM).

Dalam pemaparannya, Ketua Tim PKM ini Prof. Dr. Ir. H Muh Hattah Fattah, M.S bersama anggota Tim Pengabdi Dr.Ir.Siti Rahbiah, Ramdan Satra,SKom.,MKom,MTA, dan Dr.Fatmah Afrianty Gobel, menjelaskan bahwa masyarakat Bugis memiliki identitas kuat yang adaptif tanpa kehilangan jati diri.

Filosofi perantauan “Kegisi monro sore’lopie situ tombollabu sengereng” menjadi simbol semangat hidup orang Bugis: di mana pun perahu berlabuh, di situlah kehidupan ditegakkan.

“Orang Bugis merantau bukan untuk meninggalkan asal, tetapi untuk menemukan ketentraman jiwa (ininnawa) dan kemerdekaan hidup dengan tetap membawa nilai leluhur,” jelas Hattah.

Siri’ na Pesse, Fondasi Moral dan Sosial

Lebih lanjut, ia menegaskan dua nilai utama dalam kebudayaan Bugis, yakni siri’ (harga diri) dan pesse (solidaritas). Keduanya menjadi landasan dalam membangun hubungan sosial yang beradab dan berkeadilan.

“Siri’ mengajarkan kita menjaga kehormatan, sementara pesse menumbuhkan empati dan rasa kebersamaan. Dua nilai ini menjadi fondasi masyarakat Bugis yang tidak rela kehilangan martabat, meski nyawa taruhannya,” ujarnya.

Nilai tersebut berpadu dalam sistem Pangngadereng, yang mencakup ade’ (adat), bicara (hukum), wari (status sosial), dan sara’ (syariat Islam). Hattah menilai sistem ini merupakan bentuk awal tatanan sosial yang menyeimbangkan agama, hukum, dan budaya lokal.

Kepemimpinan dan Diplomasi Bugis

Dalam konteks kepemimpinan, Hattah memaparkan enam prinsip utama yang menjadi pedoman para raja dan bangsawan Bugis, yakni lempu (jujur), acca (cerdas), getteng (tegas), reso (kerja keras), assitinajang (patut), dan tenri atta (mawas diri).

Prinsip tersebut tidak hanya membentuk sosok pemimpin tangguh, tetapi juga menegaskan tanggung jawab moral seorang pemimpin yang selalu berada di garis depan dalam situasi sulit.

Kearifan politik Bugis juga tercermin dalam konsep ‘Tellu Cappa’ atau diplomasi tiga ujung, yang meliputi komunikasi, kekerabatan, dan kekuatan militer sebagai pilihan terakhir. Melalui konsep ini, orang Bugis dikenal mengutamakan dialog dan silaturahmi dalam penyelesaian konflik.

Demokrasi Bugis Mendahului Barat

Hattah Fattah juga menyoroti sistem demokrasi Bugis yang telah eksis jauh sebelum konsep Social Contract Rousseau diperkenalkan di Eropa.
Raja Bugis, We Tenrirawe, pada abad ke-16 sudah mempraktikkan bentuk demokrasi partisipatif, di mana raja tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa musyawarah rakyat.

“Demokrasi Bugis bukan sekuler, melainkan berbasis Islam dan nilai moral. Raja bertanggung jawab kepada Allah dan rakyatnya,” tegas Hattah.

Warisan yang Relevan di Era Modern

Kegiatan ini ditutup dengan refleksi bahwa nilai-nilai siri’ na pesse dan lempu’ memiliki relevansi kuat dalam membangun kepemimpinan modern yang berintegritas.

Warisan budaya Bugis tidak hanya berpengaruh di Sulawesi, tetapi juga meninggalkan jejak penting di kawasan Johor-Riau melalui kepemimpinan Opu Daeng Bersaudara yang membawa masa kejayaan politik dan ekonomi pada abad ke-18.

“Warisan ini membuktikan bahwa budaya Bugis mampu beradaptasi tanpa kehilangan nilai. Ini menjadi pelajaran penting bagi generasi masa kini dalam membangun karakter dan kepemimpinan yang bermartabat,” pungkasnya.

Apresiasi ITBM Malaysia untuk UMI

Sementara itu, pihak ITBM Malaysia menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya atas pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Internasional dalam bentuk berbagi ilmu yang telah dilaksanakan di ITBM pada 24 Oktober 2025.

Apresiasi ini diungkapkan langsung melalui surat resmi dari ITBM Malaysia untuk UMI tertanggal 3 November 2025 oleh Sakri Bin Abdullah selaku Ketua Pegawai Eksekutif ITBM Malaysia.

“Perkongsian ilmu tersebut melibatkan dua topik iaitu: Aksara Lontara dan Komunikasi Bugis yang telah disampaikan oleh YBhg. Prof. Dr. Muhammad Yunus dan Pemaknaan Nilai dan Karakter Luhur Manusia Bugis yang telah disampaikan oleh YBhg. Prof. Dr.Ir. Muhammad Hattah Fattah,” tulisnya.

Pihak ITBM juga sangat menghargai kontribusi dan komitmen yang telah diberikan oleh Yayasan Wakaf UMI dalam kegiatan tersebut. (*)

SHARE ON